Sejarah Kota
Surabaya
Kota Surabaya adalah ibu kota
Provinsi
Jawa Timur,
Indonesia
sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi
tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Jakarta.
Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan
pendidikan di Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur. Kota ini
terletak 796 km sebelah timur Jakarta, atau 415 km sebelah barat laut
Denpasar,
Bali. Surabaya
terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura
serta Laut Jawa.
Surabaya memiliki luas sekitar
350,54 km² dengan penduduknya berjumlah 2.765.487 jiwa (2010). Daerah
metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10
juta jiwa, adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek.
Surabaya dilayani oleh sebuah bandar udara,
yakni Bandar Udara Internasional Juanda,
serta dua pelabuhan,
yakni Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan
Ujung.
Surabaya terkenal dengan sebutan
Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan
dalam perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-Pemuda Surabaya) untuk
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.
Etimologi
Kata Surabaya (bahasa Jawa Kuna: Śūrabhaya) sering
diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air.
Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan sura
/ suro (ikan hiu)
dan baya / boyo (buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa terbentuknya nama
"Surabaya" muncul setelah terjadinya pertempuran tersebut.
Asal-usul Surabaya
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman
kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti
Trowulan I, berangka 1358 M.
Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih
berupa desa di tepi sungai Brantas dan juga sebagai salah satu
tempat penyeberangan penting sepanjang daerah aliran sungai Brantas. Surabaya
juga tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca
yang bercerita tentang perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk
pada tahun 1365 M
dalam pupuh
XVII (bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun
1358 M (Prasasti Trowulan) dan 1365 M (Nagarakretagama), para ahli menduga
bahwa wilayah Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut. Menurut pendapat
budayawan Surabaya berkebangsaan Jerman Von Faber, wilayah Surabaya
didirikan tahun 1275 M
oleh Raja Kertanegara sebagai tempat permukiman baru bagi
para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan di tahun 1270 M. Pendapat yang
lainnya mengatakan bahwa Surabaya dahulu merupakan sebuah daerah yang bernama Ujung
Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa Surabaya berasal dari cerita tentang
perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon
setelah mengalahkan pasukan Kekaisaran Mongol utusan Kubilai Khan
atau yang dikenal dengan pasukan Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah keraton
di daerah Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah
itu. Lama-lama karena menguasai ilmu buaya, Jayengrono semakin kuat dan mandiri
sehingga mengancam kedaulatan Kerajaan Majapahit. Untuk menaklukkan
Jayengrono, maka diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu sura.
Adu kesaktian dilakukan di pinggir Kali Mas,
di wilayah Peneleh. Perkelahian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam
dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal setelah kehilangan
tenaga.
Nama Śūrabhaya sendiri dikukuhkan sebagai nama resmi pada abad ke-14
oleh penguasa Ujung Galuh, Arya Lêmbu Sora.
Era pra kolonial
Wilayah Surabaya dahulu merupakan gerbang utama untuk memasuki ibu kota
Kerajaan Majapahit dari arah lautan, yakni di muara Kali Mas. Bahkan
hari jadi kota Surabaya ditetapkan yaitu pada tanggal 31 Mei
1293. Hari itu
sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden
Wijaya terhadap serangan pasukan Mongol. Pasukan Mongol yang datang dari laut
digambarkan sebagai SURA (ikan hiu / berani) dan pasukan Raden Wijaya yang
datang dari darat digambarkan sebagai BAYA (buaya / bahaya), jadi secara harfiah
diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan
itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya.
Pada abad ke-15, Islam
mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota Walisongo,
Sunan Ampel,
mendirikan masjid
dan pesantren
di wilayah Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi
bagian dari Kerajaan Demak.
Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram, diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang
besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1610, dan diserang Sultan Agung
tahun 1614.
Pemblokan aliran sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya
menyerah. Suatu tulisan VOC
tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai wilayah yang kaya dan berkuasa.
Panjang lingkarannya sekitar 5 mijlen Belanda (sekitar 37 km), dikelilingi kanal dan diperkuat
meriam. Tahun tersebut, untuk melawan Mataram, tentaranya sebesar 30.000
prajurit.
Dalam perjanjian antara Pakubuwono II
dan VOC
pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan
penguasaannya kepada VOC. Gedung pusat pemerintahan Karesidenan Surabaya berada
di mulut sebelah barat Jembatan Merah. Jembatan inilah yang membatasi
permukiman orang Eropa
(Europeesche Wijk) waktu itu, yang ada di sebelah barat jembatan dengan
tempat permukiman orang Tionghoa; Melayu; Arab; dan sebagainya (Vremde Oosterlingen), yang ada di
sebelah timur jembatan tersebut. Hingga tahun 1900-an, pusat kota Surabaya
hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja.
Era kolonial
Peta Surabaya dari buku panduan
perjalanan dari Inggris tahun 1897. Kawasan Jembatan Merah sekitar tahun
1920-an.
Pada masa Hindia
Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibu kota Karesidenan Surabaya,
yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik;
Sidoarjo;
Mojokerto;
dan Jombang.
Pada tahun 1905,
Surabaya mendapat status kotamadya (gemeente). Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan
sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Sejak saat itu Surabaya berkembang
menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia Belanda setelah Batavia.
Sebelum tahun 1900,
pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan
Merah saja. Pada tahun 1910, fasilitas pelabuhan modern dibangun di Surabaya, yang
kini dikenal dengan nama Pelabuhan Tanjung Perak. Sampai tahun
1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo; Gubeng;
Sawahan; dan Ketabang.
Tanggal 3 Februari 1942, Jepang
menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil
merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara tentara Sekutu pada tanggal 17 Mei
1944.
Era kemerdekaan
Pertempuran mempertahankan Surabaya
Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober
1945, 6.000
pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49,
Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin
Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama
melucuti tentara Jepang,
tentara dan milisi
Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan
tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi
dan lebih dari 20.000 pasukan Indonesia menolak.
Tentara Britania menembaki 'sniper'
dalam pertempuran di Surabaya
26 Oktober
1945, tercapai
persetujuan antara R.M. Soerjo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby
bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka.
Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya
dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Philip
Christison.
27 Oktober
1945, jam 11.00
siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya
yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan
senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia menjadi marah ketika
membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian
pada tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober
1945, pasukan
Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari
kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno
dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn
untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober
1945, Presiden Soekarno;
Wakil Presiden Mohammad Hatta; dan Menteri Penerangan Amir
Syarifuddin bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk
berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan
yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen
Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak
dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen
Hawthorn dan para pimpinan RI tersebut meninggalkan Surabaya dan kembali ke
Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby
berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan
soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung
Internatio, dekat Jembatan Merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi
yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi
D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk
membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki
tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang
perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia,
tetapi meleset dan jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya
tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar
pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh
milisi Indonesia.
Letjen Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen
Mallaby tersebut dan mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai
Surabaya.
9 November
1945, Inggris
menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera
diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November
1945, Inggris
mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10
hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang
penumpang, Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan
meninggal keesokan harinya.
20 November
1945, Inggris
berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih
dari 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota
Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang
dialami pasukan Inggris pada dekade 1940-an. Pertempuran ini menunjukkan
kesungguhan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir
penjajah.
Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran
ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan
digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran pada tanggal 10 November
1945 tersebut
hingga saat ini dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Era pasca kemerdekaan
Kota yang jalan utamanya dulu hampir berbentuk seperti pita dari jembatan
Wonokromo di sebelah Selatan menuju ke Jembatan Merah di sebelah Utara
sepanjang kurang lebih 13 km tersebut, di akhir tahun 1980-an mulai
berubah total. Pertambahan penduduk dan urbanisasi yang pesat, memaksa Surabaya
untuk berkembang ke arah Timur dan Barat seperti yang ada sekarang.
Bertambahnya kendaraan bermotor, tumbuhnya industri baru serta menjamurnya
perumahan yang dikerjakan oleh perusahaan real estate yang menempati
pinggiran kota mengakibatkan tidak saja terjadi kemacetan di tengah kota tapi
juga tidak jarang terjadi pula di pinggiran kota. Surabaya telah berkembang
jauh dari kota yang relatif kecil dan kumuh di akhir abad ke-19, menjadi kota
metropolitan di akhir abad ke-20 dan pada kurun abad ke-21 menjadi salah satu
metropolitan dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Kota yang pada kurun
abad ke-20 dan awal abad ke-21 dipandang panas dan kumuh ini juga berhasil
berubah menjadi salah satu kota metropolitan yang paling tertata di Indonesia
dengan kualitas udara terbersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar